the story is mine :D don't copas without my permission, so if you want to copas my story please comment :D. banggalah jadi anak bangsa yang penuh dengan kreatifitas bukan menjiplak karya orang lain
Bisikan-bisikan Dinding Kelas
Detakan jarum panjang dan pendek menggema di ruangan persegi
beratap genting merah tua yang cukup lusuh, kipas angin menyala menabur hawa
sejuk bagi mahluk-mahluk yang tengah berada dalam ruangan itu, desisan-desisan
kecil dan jari-jari nakal menunjukan abjad menjadi pemandangan mengenaskan
untuk disajikan, dorongan-dorongan bangku yang memang sengaja dilakukan turut
menyumbang suara kecil ditengah kesunyian pagi karena hujan.
Pantat mereka terasa panas, padahal baru sekitar lima belas menit
lalu duduk di kursi keramat yang akan menjadi saksi berhasil tidakkah mereka
dalam tes akhir semester kali ini, garuk-garuk kepala menggeleng kasar berharap
tiba-tiba wahyu datang dalam otak mereka yang terasa sudah mentok alias
pas-pasan. Menjatuhkan penghapus? Itu..entah sudah berapa banyak murid yang
melakukan, ck.. ada-ada saja cara mereka untuk mendapat jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang membuat kepala mereka terasa panas, ibarat kompor
siap meledak saat itu juga.
Sementara mereka asyik mengerjakan atau lebih tepatnya mencari
jawaban agar segera keluar dari ruangan yang tiba-tiba seperti neraka dadakan,
dua orang nampak bersender di dinding bagian belakang kelas, tersenyum miris
dan menggeleng melihat pemandangan di hadapan mereka.
“Pak... anak jaman sekarang kok seperti itu ya?” wanita manis itu
berbisik lirih pada pria disampingnya, tidak berani bersuara keras, mungkin
takut mengganggu mereka yang otaknya telah panas.
“Memang begitu Bu, mau bagaimana lagi?” pria itu meyahut dengan
nada yang tak kalah lirihnya, manik matanya tampak redup, layaknya lentera yang
perlahan kehabisan minyak tanah.
“Ya.. tidak seperti kita dulu ya Pak?”
“Ya..”
Percakapan terhenti, suasana menjadi sedikit hening, suara
anak-anak yang bertukar jawaban nampak kalah oleh suara derasnya air hujan,
kilat menyambar disertai guntur yang cukup membuat jantung kaget tak karuan.
“Astaga lihat itu Pak ! Ck..apa Bapak merasa tak dilecehkan sebagai
seorang yang memang seharusnya dihormati? Saya saja sudah panas ingin langsung
menghampiri mereka” hening terpecah seketika, mata si Ibu nampak berubah
menjadi layar dengan penuh kobaran jago merah, suaranya memang masih berbisik
namun, penuh penekanan dan penuh amarah.
“Dibanding marah, saya justru lebih ingin menangis melihat kelakuan
mereka, tapi saya ini kan laki-laki jadi pantang untuk menangis, apalagi saya
itu cukup tangguh pada jaman saya muda” meski terkekeh membuat kesan humor atas
ucapannya sendiri, suara si Bapak nampak terdengar perih oleh wanita di
sampingnya.
“Saya jadi merasa bersalah”
“Kenapa?”
“Tidak bisa menegur mereka dan membiarkan mereka terjerumus dalam
hal yang tidak baik, apalagi itu Pak ! satu gadis di pojok depan sebelah kanan
dan laki-laki di barisan tengah nomor dua dari depan, saya sebagai rekan Bapak
merasa terhina karena mereka berdua! Yang benar saja ! seenak jidat mereka
melecehkan Bapak” tatapan tajam mata si Ibu tertuju pada dua siswa yang sedari
tadi memang menjadi sebab hatinya semakin panas.
“Saya justru senang dengan dua orang yang anda tunjuk tadi Bu...”
lengkungan bulan sabit manis terbit dari wajah si Bapak, kumisnya yang tebal
turut serta melengkung menamabah kesan gagah namun lemah lembut
“Apa maksud Bapak?” Tak bisa mencerna rupanya si Ibu, alisnya
nampak bertaut seiring keningnya yang mengkerut mencoba mencari tau makna dari
ucapan pria di sampingnya.
“Setidaknya saya yang tadinya ingin menangis menjadi urung untuk
menangis karena melihat mereka berdua...anda lihat Bu?... dari tigapuluh siswa
hanya merekalah yang salah menyebut siapa saya... saya justru bangga pada
mereka, duapuluh delapan anak memang menjawab dengan benar siapa saya, tapi itu
bukanlah hal yang patut dibanggakan melainkan dua orang yang menjawab salah
itulah yang patut dibanggakan”
“Saya bahkan tetap tak bisa mencerna maksud anda Pak?”
“Anda lihat yang dipojok belakang sebelah kiri itu? dia kan yang
menyebar jawaban yang benar tentang siapa saya?” tatapan mata si bapak mengarah
pada anak laki-laki berkacamata hitam di bangku pojok, ia nampak asyik meladeni
temannya yang meminta jawaban kepadanya.
“Setidaknya saya masih memiliki dua putera yang jujur untuk
mengabdi pada negeri ini, apalah gunanya kepintaran jika tanpa kejujuran? Untuk
menjadi negeri yang maju kita butuh generasi dengan moral yang baik, bukan
sekedar otak yang luar biasa”
“Ya.. memang benar Pak, lalu apa yang akan anda lakukan kali ini?”
Si Ibu nampak penasaran dengan rencana pria disampingnya ini
“Berdoa , tentu saja ! memangnya apa
lagi? tidak mungkin saya menggotong senjata dan menembakkan peluru kematian di
dada musuh, saya ini kan cuma gambar yang bersender di dinding kelas, mana
bisa?”
“Hihi.. anda benar, kita kan hanya
gambar yang bahkan mereka pajang hanya untuk isi-isi dinding...terkadang saya
merasa sedih, apalagi kasus seperti ini, dilembar soal mereke dengan jelas
memajang gambar anda Pak, mereka tak tahu dengan benar siapa nama Bapak, anda
kan pahlawan negeri ini, lalu apa guna mereka memajang foto-foto pahlawan di
dinding kelas jika mereka tak pernah membaca siapa namanya? Ah! Jangankan
membaca, menengokpun tidak”
“Memang seperti itu zaman
sekarang... saya ingin dihargai oleh mereka dengan cara mereka memupuk moral
yang baik untuk negeri ini, mencontoh sikap baik kami para pahlawan.. tapi
lagi-lagi, bagaimana mau mencontoh kebaikan dari kami? Mempunyai keinginan
untuk mengenal kamipun tidak?”
“Hahahaahaha anda benar sekali Pak,
terlalu miris memang....”
Percakapan terhenti seiring bel bahwa ulangan telah berakhir
berbunyi, keduanya tersenyum miris, dengan tubuh dibingkai kayu persegi
panjang, menempel pada dinding kelas, dinding merah menyala, lambang kobaran
keberanian, keberanian untuk kebenaran... seperti doa yang mereka bisikan..
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus"don't copas without my permission, so if you want to copas my story please comment :D"
BalasHapusizin copas,terimakasih
would u mind if i copy it? i like ur story about nationalism. It is simple but contains deep moral advisory.
BalasHapusIzin copas ya min
BalasHapus