sabar

Senin, 26 Oktober 2015

Contoh cerpen bertema nasionalisme

the story is mine :D don't copas without my permission, so if you want to copas my story please comment :D. banggalah jadi anak bangsa yang penuh dengan kreatifitas bukan menjiplak karya orang lain

Bisikan-bisikan Dinding Kelas



Detakan jarum panjang dan pendek menggema di ruangan persegi beratap genting merah tua yang cukup lusuh, kipas angin menyala menabur hawa sejuk bagi mahluk-mahluk yang tengah berada dalam ruangan itu, desisan-desisan kecil dan jari-jari nakal menunjukan abjad menjadi pemandangan mengenaskan untuk disajikan, dorongan-dorongan bangku yang memang sengaja dilakukan turut menyumbang suara kecil ditengah kesunyian pagi karena hujan.
Pantat mereka terasa panas, padahal baru sekitar lima belas menit lalu duduk di kursi keramat yang akan menjadi saksi berhasil tidakkah mereka dalam tes akhir semester kali ini, garuk-garuk kepala menggeleng kasar berharap tiba-tiba wahyu datang dalam otak mereka yang terasa sudah mentok alias pas-pasan. Menjatuhkan penghapus? Itu..entah sudah berapa banyak murid yang melakukan, ck.. ada-ada saja cara mereka untuk mendapat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang membuat kepala mereka terasa panas, ibarat kompor siap meledak saat itu juga.
Sementara mereka asyik mengerjakan atau lebih tepatnya mencari jawaban agar segera keluar dari ruangan yang tiba-tiba seperti neraka dadakan, dua orang nampak bersender di dinding bagian belakang kelas, tersenyum miris dan menggeleng melihat pemandangan di hadapan mereka.
“Pak... anak jaman sekarang kok seperti itu ya?” wanita manis itu berbisik lirih pada pria disampingnya, tidak berani bersuara keras, mungkin takut mengganggu mereka yang otaknya telah panas.
“Memang begitu Bu, mau bagaimana lagi?” pria itu meyahut dengan nada yang tak kalah lirihnya, manik matanya tampak redup, layaknya lentera yang perlahan kehabisan minyak tanah.
“Ya.. tidak seperti kita dulu ya Pak?”
“Ya..”
Percakapan terhenti, suasana menjadi sedikit hening, suara anak-anak yang bertukar jawaban nampak kalah oleh suara derasnya air hujan, kilat menyambar disertai guntur yang cukup membuat jantung kaget tak karuan.
“Astaga lihat itu Pak ! Ck..apa Bapak merasa tak dilecehkan sebagai seorang yang memang seharusnya dihormati? Saya saja sudah panas ingin langsung menghampiri mereka” hening terpecah seketika, mata si Ibu nampak berubah menjadi layar dengan penuh kobaran jago merah, suaranya memang masih berbisik namun, penuh penekanan dan penuh amarah.
“Dibanding marah, saya justru lebih ingin menangis melihat kelakuan mereka, tapi saya ini kan laki-laki jadi pantang untuk menangis, apalagi saya itu cukup tangguh pada jaman saya muda” meski terkekeh membuat kesan humor atas ucapannya sendiri, suara si Bapak nampak terdengar perih oleh wanita di sampingnya.
“Saya jadi merasa bersalah”
“Kenapa?”
“Tidak bisa menegur mereka dan membiarkan mereka terjerumus dalam hal yang tidak baik, apalagi itu Pak ! satu gadis di pojok depan sebelah kanan dan laki-laki di barisan tengah nomor dua dari depan, saya sebagai rekan Bapak merasa terhina karena mereka berdua! Yang benar saja ! seenak jidat mereka melecehkan Bapak” tatapan tajam mata si Ibu tertuju pada dua siswa yang sedari tadi memang menjadi sebab hatinya semakin panas.
“Saya justru senang dengan dua orang yang anda tunjuk tadi Bu...” lengkungan bulan sabit manis terbit dari wajah si Bapak, kumisnya yang tebal turut serta melengkung menamabah kesan gagah namun lemah lembut
“Apa maksud Bapak?” Tak bisa mencerna rupanya si Ibu, alisnya nampak bertaut seiring keningnya yang mengkerut mencoba mencari tau makna dari ucapan pria di sampingnya.
“Setidaknya saya yang tadinya ingin menangis menjadi urung untuk menangis karena melihat mereka berdua...anda lihat Bu?... dari tigapuluh siswa hanya merekalah yang salah menyebut siapa saya... saya justru bangga pada mereka, duapuluh delapan anak memang menjawab dengan benar siapa saya, tapi itu bukanlah hal yang patut dibanggakan melainkan dua orang yang menjawab salah itulah yang patut dibanggakan”
“Saya bahkan tetap tak bisa mencerna maksud anda Pak?”
“Anda lihat yang dipojok belakang sebelah kiri itu? dia kan yang menyebar jawaban yang benar tentang siapa saya?” tatapan mata si bapak mengarah pada anak laki-laki berkacamata hitam di bangku pojok, ia nampak asyik meladeni temannya yang meminta jawaban kepadanya.
“Setidaknya saya masih memiliki dua putera yang jujur untuk mengabdi pada negeri ini, apalah gunanya kepintaran jika tanpa kejujuran? Untuk menjadi negeri yang maju kita butuh generasi dengan moral yang baik, bukan sekedar otak yang luar biasa”
“Ya.. memang benar Pak, lalu apa yang akan anda lakukan kali ini?” Si Ibu nampak penasaran dengan rencana pria disampingnya ini
“Berdoa , tentu saja ! memangnya apa lagi? tidak mungkin saya menggotong senjata dan menembakkan peluru kematian di dada musuh, saya ini kan cuma gambar yang bersender di dinding kelas, mana bisa?”
“Hihi.. anda benar, kita kan hanya gambar yang bahkan mereka pajang hanya untuk isi-isi dinding...terkadang saya merasa sedih, apalagi kasus seperti ini, dilembar soal mereke dengan jelas memajang gambar anda Pak, mereka tak tahu dengan benar siapa nama Bapak, anda kan pahlawan negeri ini, lalu apa guna mereka memajang foto-foto pahlawan di dinding kelas jika mereka tak pernah membaca siapa namanya? Ah! Jangankan membaca, menengokpun tidak”
“Memang seperti itu zaman sekarang... saya ingin dihargai oleh mereka dengan cara mereka memupuk moral yang baik untuk negeri ini, mencontoh sikap baik kami para pahlawan.. tapi lagi-lagi, bagaimana mau mencontoh kebaikan dari kami? Mempunyai keinginan untuk mengenal kamipun tidak?”
“Hahahaahaha anda benar sekali Pak, terlalu miris memang....”
Percakapan terhenti seiring bel bahwa ulangan telah berakhir berbunyi, keduanya tersenyum miris, dengan tubuh dibingkai kayu persegi panjang, menempel pada dinding kelas, dinding merah menyala, lambang kobaran keberanian, keberanian untuk kebenaran... seperti doa yang mereka bisikan..


4 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. "don't copas without my permission, so if you want to copas my story please comment :D"

    izin copas,terimakasih

    BalasHapus
  3. would u mind if i copy it? i like ur story about nationalism. It is simple but contains deep moral advisory.

    BalasHapus